Indonesia menyerukan kepada negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam integrasi ekonomi regional melalui perdagangan yang inklusif, digital, dan berkelanjutan selama KTT ASEAN ke-47, dengan menekankan persatuan sebagai landasan pertumbuhan di tengah perubahan dinamika global.
Menteri Perdagangan Indonesia Budi Santoso mengatakan sentralitas dan solidaritas ASEAN tetap penting dalam menghadapi lanskap geopolitik dan ekonomi yang semakin kompleks.
“Persatuan dan sentralitas ASEAN dapat menjadi landasan menghadapi tantangan geopolitik dan proteksionisme. Artinya ASEAN harus mampu menjaga stabilitas sekaligus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi kawasan,” ujarnya dalam keterangannya, Senin, 27 Oktober 2025.
Budi menggarisbawahi bahwa negara-negara ASEAN tidak hanya harus memperkuat perdagangan dan investasi intra-regional tetapi juga memastikan bahwa manfaat integrasi ekonomi dapat dirasakan secara luas termasuk oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pemerintah Indonesia menegaskan kembali komitmennya untuk memajukan integrasi ekonomi regional melalui praktik perdagangan yang inklusif dan berwawasan ke depan. “Salah satu kontribusi nyata Indonesia adalah kepemimpinannya dalam memfasilitasi upgrade Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA),” tambah Budi.
KTT ASEAN ke-47, yang diselenggarakan di Malaysia, berfokus pada penguatan ketahanan regional melalui peningkatan kerja sama ekonomi, transisi energi ramah lingkungan, dan transformasi digital. Indonesia memposisikan diri sebagai kekuatan pendorong perekonomian ASEAN yang lebih terintegrasi dan inklusif.
Peningkatan ATIGA
Pada KTT Kuala Lumpur, para pemimpin ASEAN secara resmi menandatangani Peningkatan Protokol Kedua untuk Mengubah Perjanjian Perdagangan Barang ASEAN (ATIGA), sebuah tonggak sejarah yang diharapkan dapat memodernisasi kerangka perdagangan kawasan.
Perjanjian yang ditingkatkan ini memperkenalkan beberapa ketentuan baru, termasuk komitmen untuk mempromosikan perdagangan ramah lingkungan, meningkatkan partisipasi UMKM, meningkatkan konektivitas rantai pasokan, dan memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di antara negara-negara anggota ASEAN.
“Perjanjian ini mencerminkan keyakinan ASEAN untuk tetap relevan dan bergerak maju di tengah pergeseran perekonomian global,” kata Budi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI, Djatmiko Bris Witjaksono, mencatat bahwa selama proses perundingan, Indonesia berupaya memastikan kepentingan nasionalnya terlindungi khususnya terkait komoditas utama.
“Indonesia telah berhasil menerapkan protokol khusus untuk beras dan gula, yang sangat penting untuk menjamin stabilitas harga dan keamanan pasokan baik di pasar nasional maupun regional,” kata Djatmiko.
Protokol khusus ini memungkinkan negara-negara pengimpor untuk mengambil tindakan perlindungan jika lonjakan impor beras atau gula mengancam atau menyebabkan kerugian serius bagi produsen dalam negeri. Berdasarkan ketentuan ini, negara-negara dapat menangguhkan sementara preferensi tarif sesuai dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan ketentuan mereka memberitahukan dan berkonsultasi dengan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA).
“Mekanisme ini dirancang bukan sebagai penghalang, namun sebagai upaya menjaga ketahanan pangan regional sekaligus mendukung perdagangan yang adil dan berkelanjutan,” kata Djatmiko.
